BANTUL, Suara Muhammadiyah – Rentetan bencana alam
terjadi di Indonesia, tsunami menerjang sekitar Selat Sunda beberapa
waktu lalu. Sebelumnya dalam lima bulan terakhir ada dua bencana alam
besar lainnya, yakni Tsunami Palu Sulawesi Tengah dan gempa bumi Lombok
NTB yang sudah memakan banyak korban. Dalam hal ini masyarakat Indonesia
dihantui pertanyaan seberapa besar potensi bencana alam terjadi di
Indonesia.
Tak jarang pula tindakan keliru terjadi, sehingga bukannya menemukan
solusi justru menambah runyam situasi. Sri Atmaja P Rosyidi, PhD, dari
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta memaparkan hal tersebut dalam
Refleksi AKhir Tahun 2018 dan Outlook 2019 Program Pascasarjana UMY,
pada Sabtu (29/12). Dalam kegiatan yang bertemakan Sebuah Catatan
Perjalanan Bangsa di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana UMY, Kampus
Terpadu UMY tersebut, Sri menyampaikan materi tentang Strukturalisasi
Penyadaran Bencana Holistik: Membaca Kebencanaan untuk Pembelajaran
Pengurangan Resiko.
Untuk mencegah sebuah bencana sangat mustahil baik itu gempa bumi,
Tsunami, gunung meletus dan yang lainnya. Sekarang adalah mencari solusi
agar ketika bencana itu datang korban yang terdampak dapat
diminimalisir atau kalau bisa tidak menimpa korban jiwa. Salah satunya
dengan mencari formula bersama untuk membuat sebuah perencanaan gedung
yang tak mudah runtuh dan senantiasa aman dari bencana.
“Sebenarnya gempa itu tak selamanya membuat orang meninggal dan
merasa bahaya, justru gedung-gedung yang ada lah yang dapat menimbulkan
terjadinya korban jiwa. Jadi jangan salahkan bencananya, tetapi mulai
dengan infrastruktur yang bisa mencegah jatuhnya banyak korban. Seperti
contohnya kita juga harus sadar jangan membangun sesuatu misal perumahan
di atas bantaran sungai, karena itu sama saja mendekatkan pada bencana.
Edukasi mengenai kebencanaan harus ditanam sejak dini, karena di
Indonesia belum ada mata pelajaran yang membahas penanggulangan
kebencanaan sejak usia dini seperti yang baru dicanangkan Mendikbud
meski sangat terlambat,” papar Sri Atmaja.
Tak hanya itu, masih banyak pula aspek lainnya yang kemudian menjadi
kekeliruan informasi dalam menyikapi bencana yang terjadi di Indonesia,
seperti saat terjadi gempa bumi Lombok pada 5 Agustus 2018 dimana
masyarakat sekitar mengaitkan bencana dengan mitos bahwa gunung Rinjani
sudah tak suci lagi.
“Saya hampir 10 hari berada di Lombok pasca gempa bumi terjadi,
di situ rupa-rupanya ketika sebuah penyadaran kebencanaan terlambat,
yang muncul adalah sisi sosial spiritual yang melenceng, seperti
munculnya mitos. ‘Mengapa terjadi bencana di Lombok?’ Sebagian dari
mereka beranggapan gunung Rinjani sudah tidak suci lagi, karena menurut
orang dulu orang yang mendaki Rinjani harus orang suci, sekarang banyak
orang asing datang ke sana. Kita tidak bisa menyalahkan mitos itu,
karena terjadi keterlambatan penyadaran mengenai informasi bencana,”
papar Direktur Pascasarjana UMY ini lagi.
Kemudian dari fakta ini bisa ditarik benang merah mengenai
keterlambatan penyadaran mengenai bencana alam, yang kembali terulang
pada bencana di Pantai Anyer, Banten. Sri Atmaja meyakini jika dari
otoritas berwenang sudah menyadari aktifitas dari gunung Anak Krakatau,
dan memberikan himbauan untuk menjauhi daerah rawan bencana maka korban
yang jatuh tidak akan lebih dari 400 orang. “Ketika gunung Anak Krakatau
sudah menunjukkan aktifitasnya, harusnya sudah ada peringatan secara
struktural. Saya yakin jika sudah ada himbauan terlebih dahulu tidak
akan mungkin terjadi 400 korban jiwa melayang. Tapi faktanya galakkan
kunjungan ke pantai menjadi sebuah program, karena menambah pendapatan
daerah,” kata Sri Atmaja. (Habibi)
Disalin dari : http://www.suaramuhammadiyah.id/2018/12/29/membaca-kebencanaan-secara-holistik/?fbclid=IwAR24y3Dt7qsCOj-oZEkL0zJHWK6P7k5W_OrTRbJJ8Wer0Ax9Yx9yLlaYK0g